Rabu, November 11, 2009

Sejarah, Perpaduan Ilmu Pengetahuan dan Seni

Sejarah, Perpaduan Ilmu Pengetahuan dan Seni

Dalam arti yang sangat sederhana, sejarah seringkali dipadankan dengan masa lalu. Sejarah sebagai ilmu seringkali diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masa lalu. Mungkin hal inilah yang membentuk opini yang kurang tepat, khususnya berkenaan dengan relevansi, fungsi, dan peranan Ilmu Sejarah di tengah-tengah masyarakat, terlepas dari perkenalan yang salah tentang ilmu ini, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang turut mendiskreditkan esensi dari ilmu ini.

Penyimpangan konsep Ilmu Sejarah ini membawa konsekuensi lebih lanjut. Sejarah seringkali tidak disejajarkan kedudukannya dengan ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan semakin kompleksnya problematika masa kini dan masa depan, banyak orang enggan untuk mengingat masa lalu, kalau bukan untuk sekedar bernostalgia. Padahal, masa lalu yang direkonstruksikan oleh Ilmu Sejarah lebih berfungsi untuk mememorisasi, merefleksikan, dan menginspirasi untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Selain itu, batasan objek sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya, terutama dalam bidang sosial, menjadi tidak jelas apabila kita membandingkannya dengan unsur kelampauan. Hal yang menjadi masalah serius adalah apakah ilmu sosial selain sejarah tidak boleh mengkaji tentang masa lalu?

Sejarah sebagai Ilmu

Untuk menjawab pertanyaan itu, tentunya harus pula dikomparasikan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lain, Mengapa sejarah harus membahas tentang masa lalu? Masa lalu yang seperti apa yang dikaji dalam disiplin Ilmu Sejarah? Sebelum menjawab dua pertanyaan itu, tentunya harus pula dirumuskan konsep sejarah yang lebih spesifik.

Untuk memenuhi itu, saya sebenarnya harus menabrak rumusan para sejarawan ternama di dunia ini dan mencari dukungan dari beberapa sejarawan lain yang sepaham dengan saya. Salah satu sejarawan yang kemudian menjadi acuan saya adalah Marc Bloch, seorang sejarawan terkemuka Perancis yang juga pendiri Mahzab Annales. Dalam karyanya yang tidak selesai, Historian Craft (1953), Marc Bloch mengatakan “ Sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang masa lalu, menurut saya, merupakan sebuah definsi yang buruk dan tidak masuk akal”. Sebagai seorang intelektual yang menciptakan aliran baru dalam Ilmu Sejarah, sebenarnya, sangat wajar Bloch berpendapat seperti itu dan hal inilah yang menjadi pijakan saya dalam usaha untuk memberikan batasan, karena kata merumuskan terlalu naïf bagi saya, pada Ilmu Sejarah.

Dalam pemahaman saya ada dua kata kunci yang harus dipahami benar, yaitu proses dan perubahan. Proses merupakan konsep asli Ilmu Sejarah yang memiliki makna narasi dan pencitraan kronologis berkaitan dengan unsur-unsur yang ada dalam suatu kejadian. Unsur kausalitas (sebab akibat) sangat berperan dalam konsep proses. Singkatnya, suatu perisitiwa ada awalnya,klimaks, antiklimaks, dan akhir yang masing-masing saling memengaruhi. Selain itu, konsep lain yang harus dipahami adalah perubahan. Konsep yang dipinjam dari disiplin ilmu sosial, khususnya Sosiologi, ini sangat berguna terutama dalam menciptakan pembabakan waktu (periodisasi) yang merupakan kerangka utama dalam Ilmu Sejarah. Setiap periodisasi harus menunjukkan perubahan yang dapat mengidentifikasi dan menampilkan unsur-unsur khas dan unik dalam rangka mengeksplanasi objek kajian sejarah. Jadi, di dalam Ilmu Sejarah, setiap periodisasi bukan saja harus jelas prosesnya, kapan awal dan kapan akhirnya, serta harus terang pula apa ciri khas dari suatu periodisasi yang membedakannya dengan periodisasi sebelumnya atau setelahnya dalam objek kajian yang diteliti.

Setelah memberikan batasan internal, permasalahan selanjutnya yang harus dibahas berkaitan dengan dua pertanyaan yang telah diajukan di atas, terutama apa perbedaan Ilmu Sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejarah merupakan ilmu yang memiliki sedikit perbedaan dengan ilmu sosial yang lainnya. Bila batasan ilmu sosial ditentukan oleh objek masalah yang menjadi pokok perhatiannya, misalnya Sosiologi membahas tentang masyarakat, Antropologi membahas tentang budaya, Politik membahas tentang kekuasaan, dan lain sebagainya. Sejarah sebagai ilmu memiliki objek masa lampau. Namun demikian, Sejarah bukan berarti menyelami objeknya untuk kepentingan masa lalu. Akan tetapi, Ilmu Sejarah berusaha mengaitkan unsur kelampauannya itu dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di masa kini, dan bahkan di masa yang akan datang. Sejarah selalu berpegang pada jargon masa kini adalah kelanjutan dari masa lampau. Oleh karena itu, Sejarah sebagai ilmu berusaha menjelaskan kompleksitas masa kini itu dengan cara mengeksplanasikan dinamika kejadian di masa lampau dan sedapat mungkin mencari jawaban dari masa lampau untuk mengatasi berbagai permasalahan di masa kini. Bukankah masa kini merupakan pengulangan masa lampau, dalam derajat yang berbeda?

Selanjutnya kredibilitas Sejarah sebagai ilmu kembali dipertanyakan karena sebagai dianggap mendominasi dunia masa lampau. Padahal, setiap ilmu sosial juga mempunyai kemampuan untuk menganalisis masa lampau sepanjang itu berkaitan dengan objek masalahnya. Nah, untuk menjawab tuduhan itu, selanjutnya Sejarah sebagai ilmu harus dapat menjawab masa lalu yang seperti apa yang dibahas dalam ilmu ini? Sebelum menjawab itu, saya pikir harus pula diketahui perbedaan Ilmu Sejarah dan ilmu sosial lainnya. Ada dua poin yang saya garis bawahi sehubungan dengan itu. Pertama, secara sederhana metodologi ilmu sosial adalah menguji dan menganalisis objek dalam suatu kondisi tertentu. Artinya, dari informasi yang didapatkan kemudian diolah, diverifikasi, dan lain sebagainya sampai siap untuk diuji dalam kerangkan konsep dan teori, dan dihasilkan temuan yang mungkin sesuai atau mungkin pula bertentangan dengan teori tersebut, tergantung kondisi yang melingkupinya. Kedua, dalam mengamati suatu permasalahan, ilmu sosial bersifat sinkronis, melebar dalam ruang. Jadi, ilmu sosial lebih mencurahkan perhatian setiap unsur yang ada dalam teritorinya dalam menjelaskan suatu permasalahan. Sebaliknya Sejarah sebagai ilmu adalah kajian yang diakronis, memanjang dalam waktu. Ia lebih memerhatikan dengan seksama proses dan perubahan dalam rentang waktu tertentu. Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu yang mencoba menjelaskan problematika masa kini, dan, bahkan, masa depan.

Tentunya, sebagai ilmu pengetahuan yang mencoba mengeksplanasi permasalahan masa kini menggunakan pendekatan masa lalu, sejarah memiliki metode khusus untuk merekonstruksi objek kelampauannya tersebut. Metode Sejarah, yang terdiri dari heuristik (pengumpulan sumber), kritik, interpretasi, dan historiografi (penyajian), sebenarnya memiliki dua pokok utama. Pertama, bagaimana memperoleh sumber yang yang kredibel dan otentik, dan kedua, bagaimana mengaplikasikan sumber agar benilai guna dalam penelitian yang akan atau sedang dijalankan. Untuk itu diperlukan bukan sekedar ketekunan dalam memperoleh sumber, tetapi juga pengetahuan yang luas untuk menggunakan sumber tersebut sesuai dengan penelitian yang dijalankan.

Seiring dengan perkembangan zaman, modernisme kemudian memiliki kecenderungan untuk menarik Ilmu Sejarah mendekati berbagai disiplin ilmu sosial lainnya. Konsep dan teori sebagai temuan paling berharga dalam perkembangan ilmu sosial kemudian menawarkan diri untuk meminjamkan instrumen tersebut pada diri Ilmu Sejarah yang memang tidak mengembangkan secara khusus instrumen tersebut. Memang hasilnya luar biasa, Ilmu Sejarah berhasil mengembangkan banyak varian yang lebih dapat memberikan penjelasan yang lebih memuaskan, terutama dalam menjelaskan masa kini melalui pedekatan masa lampau dan bahkan dapat ikut meramalkan kejadian-kejadian di masa depan. Akan tetapi, kemudian, pada saat Ilmu Sejarah sedang ‘jatuh cinta’ terhadap konsep dan teori yang dihasilkan oleh ilmu sosial, ilmu ini kemudian terdesak oleh aliran pos-modernisme yang menuduh sejarah bukanlah suatu ilmu yang objektif karena analisis utamanya tetapi saja narasi yang dapat ditafsirkan secara beragam walaupun itu telah meminjam konsep dan teori ilmu sosial. Tuduhan kedua adalah perjalanan sejarah tidak selalu sebangun dengan model-model kejadian yang telah diabstraksikan dalam konsep dan teori ilmu sosial lainnya, ada faktor-faktor lain, terutama yang bersifat metafisik (gaib) yang juga memengaruhi jalannya sejarah manusia di muka bumi ini. Pertanyaan inilah yang memerlukan jawaban dari para sejarawan yang sampai sekarang masih berdebat tentang diterima atau ditolaknya dua hal tersebut.

Sejarah Sebagai Seni

Sejarawan adalah manusia biasa. Dalam menjelaskan masa kini menggunakan pendekatan masa lampau, ia tidak mempunyai mesin waktu untuk dapat kembali ke masa lalu, ia tetap di masa sekarang dan berusaha mencari jejak-jejak masa lampau yang ditinggalkan dalam sumber-sumber sejarah. Sekali lagi, sejarawan hanya mempunyai kemampuan untuk merekonstruksi masa lalu, mengisahkan kejadian tersebut dan bukan kembali ke perstiwa tersebut.

Jarak antara masa kini dan masa lampau selalu menjadi persoalan utama seorang sejarawan. Walaupun berbagai tahapan dalam metode sejarah mampu menjamin kebenaran sumber tersebut, tetapi dalam menafsirkan sumber tersebut sejarawan lebih condong menjadi subjektif daripada objektif. Untuk menjembatani masa kini dan masa lampau, seorang sejarawan harus memiliki jiwa seni, bukan saja berkaitan dengan pencarian sumber alternatif, penciptaan imajinasi yang membantu penafsiran sumber, dan yang ketiga penyajian karya sejarah agar menarik dibaca.

Sebuah karya sejarah, terkadang tidak saja bersumber pada data dan fakta konvensional, seperti arsip, buku, ensiklopedi, surat, dan lain sebagainya, yang kebanyakan hanya dapat menujukkan realitas di bagian permukaan saja. Akan tetap, harus pula dapat menggunakan sumber alternatif lain, terutama karya-karya sastra, seperti novel, roman, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Memang karya sastra tidak memisahkan unsur-unsur riil dan khayal. Namun demikian, sudah menjadi tugas seorang sejarawan untuk memisahkan itu. Dalam pengalaman saya, usaha mempergunakan berbagai karya sastra lebih banyak membantu, daripada merugikan, terutama mendapatkan data sosial yang sangat berharga dan tidak dapat didapatkan dari keterangan-keterangan sumber konvensional.

Selain itu, penggunaan karya sastra juga sangat membatu seorang sejarawan, terutama dalam tahapan interpretasi, untuk berimajinasi yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa kini dan masa lampau. Terkadang berbagai sumber konvensional hanya berupa data yang kaku sehingga tidak dapat menggambarkan realitas yang terjadi pada masa lampau. Kekurangan itu sebenarnya dapat diatasi menggunakan berbagai karya sastra. Novel, misalnya, walaupun ada nilai-nilai yang bersifat khayal, namun saya yakin pengambaran dalam novel adalah realitas yang mewakili jiwa zamannya. Oleh karena itu, karya-karya sastra tidak boleh diabaikan dalam mengungkapkan realitas masa lampau yang penting dalam membantu menjelaskan kejadian-kejadian di masa lampau secara utuh.

Hal yang cukup penting juga berkaitan dengan nilai estetika karya sastra yang dapat membantu penyajian karya sejarah. Umum diketahui, banyak histriografi yang diciptakan sejarawan-sejarawan profesional hanya menjadi konsumsi sejarawan profesional lainnya, tanpa menarik perhatian masyarakat umum. Banyak karya sejarah semacam ini yang dinilai kering, tidak menarik, dan membosankan, serta kurang dipahami oleh masyarakat umum. Permusuhan antara Sejarawan dan karya-karya sastra membuat sejarawan hanya menyajikan data dan fakta secara kronologis, tanpa dapat merangkaikannya, mengimajinasikannya, dan membawa pembacanya larut ke masa lalu. Maka tidak heran, tulisan sejarah karya para amatir, seperti wartawan, pelaku sejarah, dan lain sebagainya lebih banyak dibaca dibanding karya sejarawan profesional.

Sejarah merupakan suatu disiplin ilmu yang memadukan kaidah ilmu pengetahuan dan nilai estetis Seni. Tentunya, historiografi yang baik adalah karya yang mampu mengombinasikan sumber yang menyajikan kebenaran fakta sejarah dengan imajinasi masa lampau khas karya sastra yang mampu membawa setiap pembacanya menjadi lebih dekat dengan masa lampau tersebut.

Written by: Teguh V.A. Manurung at March 27, 2009