Sabtu, November 21, 2009

Perang Etnis di Batavia 1740

Pembantaian Orang Cina di Batavia

Pada tahun 1700-an Jumlah penduduk etnis China di Jakarta (Batavia) telah mencapai lebih dari 10.000 orang. Pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh di pabrik gula, perkebunan dan perkayuan di pinggir kota.

Pada tahun 1740 terdapat sekitar 2.500 rumah orang China di dalam tembok kota Batavia, sedangkan di luar tembok kota terdapat lebih banyak lagi, sehingga mencapai kira2 17% dari keseluruhan jumlah penduduk didaerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah orang China yang sebenarnya jauh diatas angka tersebut karena sensus yang diadakan pada tahun 1778, menyatakan kira2 26% penduduk diwilayah Batavia adalah etnis China.

Berbeda dengan orang China yang berada diwilayah dalam tembok, orang2 China di luar tembok Batavia sulit mendapat pekerjaan dan luntang lantung sebagai pengangguran, sebagian dari mereka menjadi perampok dan pencuri.

Pemerintah Belanda berusaha membatasi masuknya orang-orang China miskin kedalam kota Batavia dengan cara membuat pajak yg tinggi bagi etnis China, diharapkan dengan cara itu maka hanya orang China kaya saja yg bisa tinggal di dalam Kota. Namun dalam kenyataannya, peraturan baru tersebut digunakan oleh para pejabat untuk memeras orang China sehingga muncul keresahan dikalangan etnis ini.

Pada 1721 VOC mencurigai adanya persekongkolan antara etnis China ini dengan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda, kelompok ini mendapat dukungan dari Banten, Cirebon, Bali, Balambangan dan Kartasura. Pemimpinnya adalah seorang Mestizo (Indo-Eropa) bernama Pieter Erberveld.

Pemberontakan ini berhasil dipatahkan oleh pemerintah Belanda, Pieter Erbeveld sendiri menjalani hukuman mati dengan cara kaki tangannya diikatkan pada 4 ekor kuda yang dilarikan dengan arah berlawanan sehingga tubuhnya terpecah, robek menjadi empat bagian. Tugu peringatan akan hal ini terdapat di daerah Pecah Kulit, Mangga Dua, namun sekarang telah hilang, konon disimpan di museum prasasti Jakarta.

Setelah peristiwa ini, Pemerintah Belanda mengadakan tekanan terhadap etnis China, banyak sekali orang China yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa alasan. Sebagian narapidana China di kirim dengan kapal ke Cylon (Srilangka) dan ke Tanjung harapan untuk dijadikan budak perkebunan, namun tersiar kabar bahwa mereka tak pernah sampai ketujuan karena dibuang ditengah laut. Pemeriksaan dan penggeledahan dilakukan dirumah2 orang China, seringkali disertai dengan penganiayaan dan perampasan harta dengan dalih mencari senjata dan pemberontak.

Hal ini menimbulkan kemarahan Orang-orang China baik didalam maupun diluar tembok kota Batavia. Sehingga situasi Kota Batavia segera berubah menjadi sangat tegang. Orang2 China membentuk kelompok2 perlawanan bersenjata untuk melawan Belanda yang telah berbuat sewenang2.

Pada 7 Oktober 1740 sekelompok pejuang etnis China merebut posisi kompeni di Meester Cornelis dan di Tanah Abang serta membunuh sekitar 50 serdadu kompeni. Van Imhoff melakukan serangan balik dengan kekuatan 1800 serdadu ditambah dengan Schutterij (milisi pribumi). Ia melakukan operasi pembersihan dipinggir kota.

Karena situasinya semakin serius, Gurbernur Jendral Valckeneir memberlakukan jam malam kepada etnis China dan melarang mereka menyalakan penerangan rumah sehingga penduduk china di dalam kota diharapkan tidak lagi dapat berkomunikasi dengan penduduk diluar tembok.

Belanda juga menyebarkan rumor bahwa orang2 China akan menyerang orang pribumi, akan memperkosa wanita2 pribumi serta memperbudak anak2, hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dukungan bagi suatu serangan pembersihan etnis yang akan segera dilaksanakan di Batavia.

Kerusuhan pun mulai terjadi, Pembakaran dan penjarahan rumah2 orang China berlangsung dengan kejam. Tentara belanda dengan dibantu orang2 Eropa, para kelasi kapal, para gelandangan, bandit2, orang2 sepoy dan para budak serentak menyerbu rumah2 orang China.

Selain merampok, mereka diperintahkan untuk membunuh semua orang China baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda bahkan anak2 dan bayi yang sedang menyusu dibantai dengan sadis diluar batas perikemanusiaan. Banjir darah terjadi dimana2 yang kemudian menimbulkan nama-nama seperti Angke yang berarti kali merah karena banyak darah yang mengalir di kali tersebut. Rawa Bangke di Meester Cornelis atau jatinegara, dan tanah Abang yang berarti tanah merah karena dibanjiri darah orang2 China yang menjadi korban pembantaian.

Seorang penulis belanda yang kredibel melukiskan kejadian tersebut, “Terdengar jeritan ketakutan di seluruh kota dan terjadilah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan dan pembantaian terjadi dimana-mana. Bahkan Perempuan hamil dan menyusui anaknya tidak luput menjadi korban pembantaian. Ratusan orang yang tertangkap di sembelih seperti domba. Beberapa orang China yang kaya, lari meminta perlindungan dari orang2 eropa, namun mereka malah diserahkan kepada para pembantai, barang2 berharga mereka diambil menjadi miliknya sendiri. Pasukan kavaleri VOC berbaris dengan pasukan Penisten mengepung tempat kediaman orang-orang China, Setelah pembakaran rumah2, seperti yang telah di persiapkan, para penduduk yang lari keluar pemukiman segera dihadang meriam oleh para pengepung. Sebagian yang bertahan dipemukiman terpanggang hidup2. Penduduk yang mencoba melarikan diri melalui kanal kota sebelah timur telah dihadang dan ditembaki oleh para pelaut VOC yang menggunakan perahu2 kecil. Sebagian penduduk yang putus asa bunuh diri dengan meloncat dari loteng rumah2 yang terbakar.

Kanal2 menjadi merah dengan darah orang China, jalan2 penuh dengan mayat2. Dimana2 terjadi pembunuhan dengan cara2 yang menyeramkan…. Kegelapan malam yang kemudian tiba tidak mengakhiri kekejaman yang telah berlangsung sepanjang hari. Malam ini terdengar jeritan2 ketakutan dan rintihan orang2 yang sedang sekarat menghadapi maut dan teriakan2 para pembunuh.

Hari berikutnya pembunuhan besar2an ini tidak mereda, Orang2 China yang berada dirumah sakit dikeluarkan dan dibunuh, beberapa penduduk yang masih selamat dari pembantaian hari sebelumnya bersembunyi di celah2 tembok dan puing2, hal ini membuat sibuk para bandit yang memburu mereka.

Selama kurang lebih seminggu mereka menangkapi orang-orang China yang masih hidup yang dalam keadaan sekarat karena kelaparan dan kehausan, bila mereka ditemukan langsung dibantai dengan kejam. Setelah dua minggu, akhirnya orang China didalam tembok Batavia telah berhasil di sapu bersih.

Tembok kota Batavia pada saat ini adalah berlokasi disebelah barat jalan Semut, Jalan Penjaringan dan Jalan Orpa terus ke jalan Telepon. Jalan Telepon merupakan sisi barat. Bagian Utara adalah Jalan Pintu Kecil terus menuju ke sisi barat kanal yang berada barat Jalan Kampung Muka Timur, Sepanjang rel kereta api utara stasiun kota. Jalan Kunir II sampai kejalan Nelayan Barat dan Nelayan Timur.

Menurut Laporan, jumlah orang China yang tewas mencapai 10.000 orang, termasuk 500-an orang luka parah, 700 rumah dibakar. Laporan tersebut menyatakan juga bahwa orang2 Belanda baik sipil maupun Militer bersama-sama melakukan penjarahan dengan pasukan milisi pribumi bentukan Belanda yang kejam dan rakus.
Setelah kejadian ini, orang-orang China yang masuk dan ingin tinggal di Batavia haruslah tinggal di tempat tersendiri diluar tembok kota (sekarang bernama Glodok) agar mudah di atur dan diawasi. Menurut Cator dalam Economic position of Chinese, setelah peristiwa ini Orang China di Batavia hanya tinggal 1.442 orang pedagang, 935 pengolah tanah dan tukang kebun, 728 pekerja kebun tebu dan 236 tukang kayu dan tukang batu.

Beberapa Fakta:

Setelah kabar pembantaian ini sampai kepada Kekaisaran Kian-Kong di China, Ia berkomentar “Orang-orang itu memang pantas mati karena telah melupakan tanah leluhur untuk mencari kekayaan, itu adalah hukuman yang pantas”.

Pada masa pembantaian itu, mayat-mayat orang China dibiarkan terbengkalai dan membusuk dijalan-jalan dan disungai-sungai. Tidak lama kemudian Batavia diserang Wabah Kolera yg sangat dahsyat. Orang2 mengatakan bahwa hal itu adalah kutukan, namun dunia kedokteran menjelaskan bahwa wabah itu akibat mayat2 yg mencemari lingkungan.

Gurbernur Valckenier yang bertanggung jawab atas pembantaian ini, karena masalah politik VOC terpaksa melarikan diri ke Cape Hope, Afrika, namun tertangkap dan mati didalam penjara Batavia.

Kapiten Ni Hoe Kong memimpin ratusan orang bersenjata dan berkuda menyerang Belanda dan membunuh banyak serdadu VOC, Ia ditangkap dan disiksa dengan sangat kejam untuk mengorek pengakuan dari mulutnya, ia tewas dalam penjara di Ambon. Perlawanan Kapten Nie tercatat dalam sejarah perlawanan orang China dalam mengusir penjajah, perjuangannya tidak berhenti disini saja melainkan meluas ke Banten dan Jawa Tengah untuk mengusir Belanda.
Ia diusulkan untuk diangkat sebagai salah seorang Pahlawan Nasional yang berjasa melawan penjajahan Belanda.